Jumat, 02 November 2012

RUANG LINGKUP AJARAN ISLAM


BAB II
PEMBAHASAN
A.      Aqidah
Pendidikan aqidah merupakan asas kepada pembinaan Islam pada diri seseorang. Ia merupakan inti kepada amalan Islam seseorang. Seseorang yang tidak memiliki aqidah menyebabkan amalannya tidak mendapat pengiktirafan oleh Allah SWT. Ayat-ayat yang terawal yang diturunkan oleh Allah SWT kepada nabi Muhammad SAW di Makkah menjurus kepada pembinaan aqidah.
Dengan asas pendidikan dan penghayatan aqidah yang kuat dan jelas maka nabi Muhammad SAW telah berjaya melahirkan sahabat-sahabat yang mempunyai daya tahan yang kental dalam mempertahan dan mengembangkan Islam ke seluruh dunia.
Bilal bin Rabah tidak tergoyah imannya walaupun disiksa dan di tindih dengan batu besar di tengah padang pasir yang panas terik. Demikian juga keluarga Amar bin Yasir tetap teguh iman mereka walau berhadapan dengan ancaman maut. Dari sini kita nampak dengan jelas bahawa pendidikan aqidah amat penting dalam jiwa setiap insan muslim agar mereka dapat mempertahan iman dan agama Islam lebih-lebih lagi di zaman globalisasi yang penuh dengan cabaan dalam segenap penjuru terutamanya internet dan teknologi maklumat yang berkembang dengan begitu pesat sekali[1].
1.        
3
Pengertian Aqidah
Perkataan aqidah berasal dari perkataan bahasa Arab yaitu ‘aqada’ yang berarti ikatan atau simpulan. Perkataan ini juga digunakan pada sesuatu yang maknawi seperti akad nikah dan akad jual beli. Dari ikatan atau simpulan yang maknawi ini maka lahirlah aqidah yaitu ikatan atau simpulan khusus dalam kepercayaan. Sementara dari segi istilah, aqidah bermaksud kepercayaan yang terikat erat dan tersimpul kuat dalam jiwa seseorang sehingga tidak mungkin tercerai atau terurai.
Aqidah menurut istilah syara’ pula bermaksud kepercayaan atau keimanan kepada hakikat-hakikat atau nilai-nilai yang mutlak, yang tetap dan kekal, yang pasti dan hakiki, yang kudus dan suci seperti yang diwajibkan oleh syara" yaitu beriman Kepada Allah SWT, rukun-rukun Iman, rukun-rukun Islam dan perkara-perkara ghaibiyyat.
Sedangkan dasar dari aqidah Islam adalah Al-Qur’an dan sunnah Rasul. Didalam Al-Qur’an banyak disebut pokok-pokok aqidah, yakni keimanan, maka aqidah disini identik dengan keimanan. Ayat Al-Qur’an yang memuat kandungan aqidah Islam, antara lain;
z`tB#uä ãAqߧ9$# !$yJÎ/ tAÌRé& Ïmøs9Î) `ÏB ¾ÏmÎn/§ tbqãZÏB÷sßJø9$#ur 4 <@ä. z`tB#uä «!$$Î/ ¾ÏmÏFs3Í´¯»n=tBur ¾ÏmÎ7çFä.ur ¾Ï&Î#ßâur Ÿw ä-ÌhxÿçR šú÷üt/ 7ymr& `ÏiB ¾Ï&Î#ß 4 (#qä9$s%ur $uZ÷èÏJy $oY÷èsÛr&ur ( y7tR#tøÿäî $oY­/u šøs9Î)ur 玍ÅÁyJø9$# ÇËÑÎÈ  
285. Rasul telah beriman kepada Al-Qur’an yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya, demikian pula orang-orang yang beriman. Semuanya beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitabNya dan rasul-rasul-Nya.(mereka mengatakan): "Kami tidak membeda-bedakan antara seseorangpun (dengan yang lain) dari rasul-rasul-Nya", dan mereka mengatakan: "Kami dengar dan kami taat. "(mereka berdoa): "Ampunilah Kami Ya Tuhan Kami dan kepada Engkaulah tempat kembali."

Dalam sebuah hadis riwayat imam Muslim di sebutkan:
”Hendaklah engkau beriman kepada Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para rasul-rasul-Nya, hari akhir, dan hendaklah engkau beriman kepada qadar ketentuan baik dan buruk. ’(Al-Hadits).

Ditinjau dari sumbernya agama-agama yang dikenal manusia terdiri atas dua jenis agama yaitu:
a.         Agama wahyu: yaitu agama yang diterima oleh akal manusia dari Allah melalui malaikat Jibril dan disebarkan oleh Rasul-Nya kepada manusia. Agama wahyu disebut pula sebagai agama samawi atau agama langit. Agama Islam termasuk agama wahyu, agama samawi atau agama langit.
b.        Agama budaya: yaitu agama yang bersumber dari ajaran seorang manusia yang dipandang mempunyai pengetahuan mendalam tentang kehidupan. Agama budaya di sebut pula sebagai agama ardhi atau agama bumi. Contoh agama budaya dalam agama Budha yang merupakan ajaran Budha Gautama (Aminuddin dkk, 2005)[2].
2.         Tujuan Aqidah Islam
Tujuan aqidah Islam bagi setiap muslim adalah:
a.         Memupuk dan mengembangkan dasar ketuhanan yang ada sejak lahir. Hal ini karena manusia adalah makhluk yang berketuhanan sejak ia dilahirkan.
b.        Untuk mencegah manusia dari kemusyrikan perlu adanya tuntutan yang jelas tentang kepercayaan terhadap Tuhan YME.
c.         Menghindarkan diri dari pengaruh akal yang menyesatkan manusia. Manusia diberi kelebihan oleh Allah berupa akal pikiran. Pendapat atau faham ini semata-mata didasarkan akal manusia, kadang-kadang menyesatkan manusia itu sendiri.
d.        Oleh karena itu, pikiran manusia perlu dibimbing oleh aqidah Islam, agar terhindar dari kehidupan yang sesat[3].
3.         Keimanan
Dalam menjelaskan definisi aqidah ada disebut perkataan, kepercayaan atau keimanan. Hal Ini disebabkan Iman merupakan unsur utama kepada aqidah. Dari segi bahasa Iman berasal dari kata “amana-yu’ minu-imanan” yang berarti percaya. Menurut istilah, iman berarti membenarkan dengan hati, mengucapkan dengan lisan dan melakukan dengan anggota badan (beramal).
Iman ialah perkataan orang Arab yang berarti percaya. Yang merangkumi ikrar (pengakuan) dengan lidah, membenarkan dengan hati dan mempraktikkan dengan perbuatan. Ini adalah berdasarkan sebuah hadis yang bermaksud: “Iman itu iyalah mengaku dengan lidah, membenarkan ia dengan hati dan beramal dengan anggota badan”.
Walaupun iman itu merupakan peranan hati yang tidak diketahui oleh orang lain selain dari dirinya sendiri dan Allah SWT namun dapat diketahui oleh orang melalui bukti-bukti amalanya. Iman tidak pernah berkompromi atau bersekongkol dengan kejahatan dan maksiat. Sebaliknya iman yang mantap di dada merupakan pendorong ke arah kerja-kerja yang sesuai dengan kehendak dan tuntutan iman itu sendiri.
4.         Tingkatan-tingkatan Keimanan
Iman itu boleh bertambah dan berkurang malahan iman seseorang boleh dihinggapi penyakit. Ada iman senantiasa bertambah yaitu Iman kepara Nabi dan Rasul. Ada Iman yang tidak bertambah atau berkurang yaitu Iman para Malaikat.  Ada Iman yang kadang-kadang bertambah dan ada ketikanya menurun yaitu Iman kebanyakan orang mukmin. Terdapat juga jenis Iman yang jarang-jarang bertambah tetapi banyak menurun yaitu Iman orang-orang yang fasik lagi jahat.
Iman terbahagi kepada lima peringkat:
a.    Iman Taqlid, yaitu ikutan. Orang yang beriman secara taqlid beramal semata-mata mengikut orang lain. Iman jenis ini sangat berbahaya.
b.    Iman Ilmu, yaitu Iman yang berdasarkan semata-mata kepada ilmu dan fikiran  semata-mata dan ia tidak terpahat di dalam hati. Iman pada tahap ini juga terdedah kepada bahaya dan penyelewengan.
c.    Iman Ayan, yaitu Iman yang dapat dihayati sehingga ke lubuk hati. Iman pada tahap ini dimiliki oleh orang-orang soleh. Seseorang yang beriman pada tahap ini amalannya bertolak dari hati yang ikhlas untuk mencari keredhaan Allah SWT. Iman kita juga sekurang-kurangnya berada pada tahap ini.
d.   Iman Hak, yaitu Iman yang hakiki yang terlepas dari godaan nafsu dan syaitan. Iman pada tahap ini dimiliki oleh golongan muqarrabin.
e.    Iman Hakikat, yaitu Iman peringkat yang paling tinggi yang boleh dicapai oleh manusia. Mereka yang memiliki Iman pada tahap ini hidup semata-mata untuk Allah SWT.[4]
5.         Rukun Iman
Perkara yang menjadi asas atau pokok keimanan dalam Islam dikenali sebagai rukun-rukun Iman ialah enam perkara sebagaimana firman Allah SWT:
$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä (#qãYÏB#uä «!$$Î/ ¾Ï&Î!qßuur É=»tFÅ3ø9$#ur Ï%©!$# tA¨tR 4n?tã ¾Ï&Î!qßu É=»tFÅ6ø9$#ur üÏ%©!$# tAtRr& `ÏB ã@ö6s% 4 `tBur öàÿõ3tƒ «!$$Î/ ¾ÏmÏFs3Í´¯»n=tBur ¾ÏmÎ7çFä.ur ¾Ï&Î#ßâur ÏQöquø9$#ur ̍ÅzFy$# ôs)sù ¨@|Ê Kx»n=|Ê #´Ïèt/ ÇÊÌÏÈ    

136 Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan kepada kitab yang Allah turunkan kepada Rasul-Nya serta kitab yang Allah turunkan sebelumnya. Barang siapa yang kafir kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya ,rasul-rasul-Nya, dan hari Kemudian, Maka Sesungguhnya orang itu telah sesat sejauh-jauhnya.

a.    Beriman kepada Allah SWT
Iman kepada Allah artinya meyakini adanya Allah dengan sepenuh hati tanpa adanya keraguan sedikitpun, karena Dia-lah yang kita sembah, yang Esa, lagi Pencipta, yang pertama lagi permulaan, yang akhir tanpa penghabisan, pemilik keagungan dan kesempurnaan. Dia-lah Allah yang Esa sebagaiman firmannya:
ö@è% uqèd ª!$# îymr& ÇÊÈ   ª!$# ßyJ¢Á9$# ÇËÈ   öNs9 ô$Î#tƒ öNs9ur ôs9qムÇÌÈ   öNs9ur `ä3tƒ ¼ã&©! #·qàÿà2 7ymr& ÇÍÈ  

1.    Katakanlah: "Dia-lah Allah, yang Maha Esa. 2. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. 3. Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan,4. Dan tidak ada seorangpun yang setara dengan dia."

Beriman kepada Allah SWT bermaksud mengetahui, percaya dan beri’tiqad dengan teguh, perkara-perkara yang wajib, mustahil dan harus bagi Allah SWT. Seseorang itu hendaklah beri’tiqad secara ijmal dan sungguh-gungguh bahawa Allah SWT bersifat dengan sifat-sifat yang sempurna dan sesuai dengan ketuhanan-Nya. Mustahil Allah SWT bersifat dengan sifat-sifat kekurangan dan harus bagi Allah SWT melakukan semua perkara atau meninggalkannya.
Fungsi iman kepada Allah antara lain:
1)   Menyadarkan manusia agar selalu ingat kepada Allah.
2)   Menambah ketaqwaan kepada Allah, serta tawakal kepadanya, ikhlas untuk melaksanakan semua perintahnya dan menjauhi larangannya.
3)   Percaya kepada yang ghaib dan adanya wahyu darinya, sehingga terdorong untuk mempelajari dan mengamalkannya.
4)   Dengan tulus ihklas berusaha menafkahkan rizki yang telah diberikannya sebagian bukti anugerah darinya.
b.    Beriman kepada Malaikat
Beriman kepada malaikat bermaksud percaya dan yakin tentang wujudnya makhluk yang digelar malaikat. Jumlah malaikat hanya Allah SWT sahaja yang mengetahui. Di antara ciri-ciri malaikat yang disebut di dalam Al-Qur’an dan Al-Hadis antaranya ialah:
1)   Malaikat merupakan makhluk yang taat kepada Allah SWT.
2)   Diciptakan dari nur.
3)   Tidak mempunyai hawa nafsu.
4)   Tidak makan dan minum
5)   Memiliki akal yang terbatas untuk melaksanakan perintah Allah SWT.
6)   Malaikat mempunyai sayap.
7)   Memiliki kekuatan dan kepantasan yang luar biasa.
Malaikat merupakan mahluk yang tidak dapat dikesani dengan penyelidikan dan pemikiran tentang kewujudannya. Kita tidak boleh menafikan adanya malaikat semata-mata kerana ia tidak dapat dilihat atau dikaji oleh akal manusia. Beriman kepada malaikan adalah termasuk didalam beriman kepada perkara-perkara ghaib keran tidak dapat disaksikan oleh panca indera. Hakikatnya amat sukar difahami oleh akal fikiran manusia. Perkara habaran tentang malaikat dan perkara perkara ghaib ini diketahui melalui Al-Quran dan Al-Hadist. Yakin dan beriman kepada perkara perkara, Neraka, roh merupakan salah satu dari pada cirri-ciri orang bertaqwa kepada Allah SWT. Diantara dalil berkenaan dengan malaikat adalah seperti berikut:
Firman Allah SWT yang bermaksud:
…. $tBur ÞOn=÷ètƒ yŠqãZã_ y7În/u žwÎ) uqèd 4 …. 
"Dan tidaklah ada yang mengetahui siapa tentara Tuhan itu melainkan Dia".(Al-Mudasir: 31)

c.    Beriman Kepada Kitab-kitab-Nya
Iman kepada kitab-kitab Allah artinya mempercayai dan meyakini bahwa Allah telah menurunkan kitab-kitab-Nya kepada para Rasul yang berisi wahyu Allah agar isi dan kandungannya disampaikan kepada umat manusia. Dasarnya adalah firman Allah SWT:
 $pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä (#qãYÏB#uä «!$$Î/ ¾Ï&Î!qßuur É=»tFÅ3ø9$#ur Ï%©!$# tA¨tR 4n?tã ¾Ï&Î!qßu É=»tFÅ6ø9$#ur üÏ%©!$# tAtRr& `ÏB ã@ö6s% 4 `tBur öàÿõ3tƒ «!$$Î/ ¾ÏmÏFs3Í´¯»n=tBur ¾ÏmÎ7çFä.ur ¾Ï&Î#ßâur ÏQöquø9$#ur ̍ÅzFy$# ôs)sù ¨@|Ê Kx»n=|Ê #´Ïèt/ ÇÊÌÏÈ

136. Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan kepada kitab yang Allah turunkan kepada Rasul-Nya serta kitab yang Allah turunkan sebelumnya. Barang siapa yang kafir kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan hari Kemudian, Maka Sesungguhnya orang itu telah sesat sejauh-jauhnya.(Q.S. Ann-Nisa’:136)

Kitab-kitab Allah yang diturunkan kepada Rasul itu ialah: Taurat kepada nabi Musa, Zabur kepada nabi Daud, Injil kepada nabi Isa, dan Al-Quran kepada nabi Muhammada SAW. Sedangkan shuhuf diturunkan kepada nabi Adam, nabi Syits, nabi Ibrahim, dan nabi Musa.
d.   Iman Kepada Para Rasul  
Beriman kepada Rasul Allah artinya mempercayai dan meyakini dengan sepenuh hati bahwa Allah telah mengangkat dan memilih serta mengurus beberapa utusan pilihan sebagai rasul mereka diberikan wahyu agar disampaikan kepada umatnya. Adapun jumlah utusan Allah (nabi dan rasul)  hanya Allah yang maha mengetahui. Yang wajib diketahui oleh kita sebagaimana dijelaskan dalam Al-Qur’an adalah sebanyak 25 orang. Para rasul ini selain diutus untuk menyampaikan risalahnya, ai juga diberikan mukjizat dan ada yang bergelar sebagian Nabi diberi gelar Ulul azmi.
e.    Iman Kepada Hari Akhir
Iman kepada hari akhir adalah mempercayai dengan sepenuh hati terhadap perubahan dahsyat yang terjadi pada alam semesta ini. Perubahan itu merupakan tanda berakhirnya kehidupan dunia yang fana ini dan dimulainya denagan kehidupan diakhirat yang kekal.
Kehancuran total yang meliputi sekalian alam ini bukanlah suatu hal yang mustahil. Kedahsyatan datangnya hari kiamat mampu menghancurkan segala yang ada di permukaan bumi ini. Pada hari itu adalah hari penghabisan dunia dan sebagai awal kehidupan diakhirat.
f.     Iman Kepada Qadha dan Qadar Allah
Iman Kepada Qadha dan Qadar Allah artinya mempercayai dan meyakini dengan sepenuh hati bahwa semua yang terjadi pada diri manusia dan segala yang adadi dunia ini sudah ditentukan oleh Allah, dan Allah lah yang menetapkan dan memutuskan baik buruknya, menyenangkan, dan tidak menyenangkan atas kehendakya[5].
6.         Hal-hal yang harus diimani
Selain rukun iman, sebagaimana yang telah disebutkan diatas, masih ada beberapa hal yang wajib diimani:
a.    Ruhaniat (spiritual), yaitu segala yang berhubungan dengan makhluk ghaib, seperti adanya ruh pada jasad manusia, adanya jin dan setan.
b.    Ketuhanan, yaitu yang berhubungan dengan nama, sifat, kodrat atau sifat kekuasaan Allah.
c.    Kenabian atau kerasulan, yang menyangkut dengan sifat-sifat dan kesucian para Nabi, yaitu tentang orang-orang yang memiliki ketaqwaan yang sangat mendalam diluar kebiasaan manusia pada umumnya.
d.   Samiyat, yaitu hal-hal yang berhubungan dengan alam ghaib, seperti alam barzah, padang masyar, siksa kubur, nikmat kubur, hidup setelah mati[6].
B.       Akhlak
Akhlak adalah sifat-sifat dan perangai yang diumpamakan pada manusia sebagai gambaran batin yang bersifat maknawi dan rohani. Dimana dengan gambaran itulah manusia dibangkitkan disaat hakikat segala sesuatu tampak dihari kiamat nanti. Perilaku dan tabiat manusia baik yang terpuji maupun yang tercela disebut dengan akhlak. Akhlak merupakan etika perilaku manusia terhadap manusia lain perilaku manusia dengan Allah SWT maupun perilaku manusia terhadap lingkungan hidup. Segala macam perilaku atau perbuatan baik yang tampak dalam kehidupan sehari-hari disebut akhlakul kharimah atau akhlakul mahmudah. Acuannya adalah Al-Qur’an dan Hadist serta berlaku universal.
1.    Pengertian Akhlak
Secara Etimologi, ahklak adalah perkataan ‘akhlak’ berasal dari bahasa Arab yang jama’nya dari bentuk mufrad ‘Khuluqun’ yang menurut logat diartikan budi pekerti, perangai, tingkah laku atau tabiat.
 Kalimat tersebut mengandung segi-segi persesuain dengan perkataan khalkun yang berarti kejadian, serta erat hubunganya ‘Khaliq’ yang berarti Pencipta dan “Makhluk” yang berarti yang diciptakan.
Pengertian akhlak adalah kebiasaan kehendak itu bila membiasakan sesuatu maka kebiasaannya itu disebut akhlak. Jadi pemahaman akhlak adalah seseorang yang mengerti benar akan kebiasaan perilaku yang diamalkannya dalam pergaulan semata-mata taat kepada Allah dan tunduk kepada-Nya. Oleh karena itu seseorang yang sudah memahami akhlak maka dalam bertingkah laku akan timbul dari hasil perpaduan antara hati nurani, pikiran, perasaan, bawaan dan kebiasaan yang menyatu, membentuk suatu kesatuan tindakan akhlak yang dihayati dalam kenyataan hidup sehari-hari. Semua yang telah dilakukan itu akan melahirkan perasaan moral yang terdapat di dalam diri manusia itu sendiri sebagai fitrah, sehingga ia mampu membedakan mana yang baik dan mana yang jahat, mana yang bermanfaat dan mana yang tidak berguna, mana yang cantik dan mana yang buruk[7].
Dengan demikian memahami akhlak adalah masalah fundamental dalam Islam. Namun sebaliknya tegaknya aktifitas keislaman dalam hidup dan kehidupan seseorang itulah yang dapat menerangkan bahwa orang itu memiliki akhlak. Jika seseorang sudah memahami akhlak dan menghasilkan kebiasaan hidup dengan baik, yakni pembuatan itu selalu diulang-ulang dengan kecenderungan hati atau disebut sadar.
2.    Macam-macam akhlak terpuji
Akhlakul karimah (sifat-sifat terpuji) ini banyak macamnya, diantaranya adalah husnuzzan, gigih, berinisiatif, rela berkorban, tata karama terhadap makhluk Allah, adil, ridho, amal shaleh, sabar, tawakal, qona’ah, bijaksana, percaya diri, dan masih banyak lagi. Husnuzzan adalah berprasangka baik atau disebut juga positive thinking. Lawan dari kata ini adalah su’uzzan yang artinya berprasangka buruk atau negative thinking. Gigih atau kerja keras serta optimis termasuk diantara akhlak mulia yakni percaya akan hasil positif dalam segala usaha.
Berinisiatif adalah perilaku yang terpuji karena sifat tersebut berarti mampu berprakarsa melakukan kegiatan yang positif serta menhindarkan sikap terburu-buru bertindak kedalam situasi sulit, bertindak dengan kesadaran sendiri tanpa menunggu perintah, dan selalu menggunakan nalar ketika bertindak di dalam berbagai situasi guna kepentingan masyarakat.
Rela berkorban artinya rela mengorbankan apa yang kita miliki demi sesuatu atau demi seseorang. Semua ini apabila dengan maksud atau dilandasi niat dan tujuan yang baik. Tata karama terhadap sesama makhluk Allah SWT ini sangat dianjurkan kepada makhluk Allah karena ini adalah salah satu anjuran Allah kepada kaumnya. Adil dalam bahasa arab dikelompokkan menjadi dua yaitu:  kata al-adl dan al-idl. Al-adl adalah keadilan yang ukurannya didasarkan kalbu atau rasio, sedangkan al‘idl adalah keadilan yang dapat diukur secara fisik dan dapat dirasakan oleh panca indera seperti hitungan atau timbangan. Ridho adalah suka, rela, dan senang. Konsep ridho kepada Allah mengajarkan manusia untuk menerima secara suka rela terhadap sesuatu yang terjadi pada diri kita. Amal Shaleh adalah perbuatan lahir maupun batin yang berakibat pada hal positif atau bermanfaat. Sabar adalah tahan terdapat setiap penderitaan atau yang tidak disenangi dengan sikap ridho dan menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allah SWT. Tawakal adalah berserah diri sepenuhnya kepada Allah dalam menghadapi atau menunggu hasil dari suatu pekerjaan.
Qona’ah adalah selalu merasa cukup dengan apa yang dimiliki dan menjauhkan diri dari sifat ketidakpuasan atau kekurangan. Bijaksana adalah suatu sikap dan perbuatan seseorang yang dilakukan dengan cara hati-hati dan penuh kearifan terhadap suatu permasalahan yang terjadi baik itu terjadi pada dirinya sendiri ataupun pada orang lain. Percaya diri adalah keadaan yang memastikan akan kemampuan seseorang dalam melakukan suatu pekerjaan karena ia merasa memiliki kelebihan baik itu kelebihan postur tubuh, keturunan, status sosial, pekerjaan ataupun pendidikan.
a.    Akhlak kepada Pencipta
Salah satu perilaku atau tindakan yang mendasari akhlak kepada Pencipta adalah Taubat. Taubat secara bahasa berarti kembali pada kebenaran. Secara istilah adalah meninggalkan sifat dan kelakuan yang tidak baik, salah atau dosa dengan penuh penyesalan dan berniat serta berusaha untuk tidak mengulangi kesalahan yang serupa. Dengan kata lain, taubat mengandung arti kembali kepada sikap, perbuatan atau pendirian yang baik dan benar serta menyesali perbuatan dosa yang sudah terlanjur dikerjakan. Menurut Ibnu Katsir taubat adalah menjauhkan diri dari perbuatan dosa dan menyesali atas dosa yang pernah dilakukan pada masa lalu serta yakin tidak akan melakukan kesalahan yang sama pada masa mendatang.
 Menurut Al-.Jurjani tobat adalah kembali pada Allah dengan melepaskan segala keterikatan hati dari perbuatan dosa dan melaksanakan segala kewajiban kepada Tuhan. Menurut Hamka  tobat adalah kembali kejalan yang benar setelah menempuh  jalan yang sangat sesat dan tidak tentu ujungnya.
b.    Akhlak terhadap Sesama
Setelah mencermati kondisi realitas sosial tentunya tidak terlepas berbicara masalah kehidupan. Masalah dan tujuan hidup adalah mempertahankan hidup untuk kehidupan  selanjutnya dan jalan mempertahankan hidup hanya dengan mengatasi masalah hidup. Kehidupan sendiri tidak pernah membatasi hak ataupun kemerdekaan  seseorang untuk bebas berekspresi, berkarya.
Kehidupan adalah saling berketergantungan antara sesama makhluk dan dalam kehidupan pula kita tidak terlepas dari aturan-aturan hidup baik bersumber dari norma kesepakatan ataupun norma-norma agama, karena dengan norma agama hidup kita akan jauh lebih memahami apa itu akhlak. Dalam hal ini adalah akhlak antara sesama manusia dan makhluk lainnya.
c.    Akhlak kepada sesama muslim
Sebagai umat pengikut Rasullulah tentunya jejak langkah beliau merupakan guru besar umat Islam yang harus diketahui dan patut ditiru, karena kata Rasululah yang dinukilkan dalam sebuah hadist yang artinya “sesungguhnya aku di utus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia”.
Yang dimaksud akhlak yang mulia adalah akhlak  yang  terbentuk dari hati manusia yang mempunyai nilai ibadah setelah menerima rangsangan dari keadaan social. Karena kondisi realitas sosial yang membentuk hadirnya karakter seseorang untuk menggapai sebuah keadaan[8].
C.      Syari’ah
Pengertian syari’ah Islam bisa kita peroleh dengan menggabungkan pengertian syari’at dan Islam. Untuk kata Islam, secara bahasa artinya inqiyâd (tunduk) dan istilah Islam (berserah diri kepada Allah). Hanya saja Al-Qur’an menggunakan kata Islam untuk menyebut agama yang diturunkan oleh Allah kepada nabi Muhammad Saw. Firman Allah menyatakan:
 الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ اْلإِسْلاَمَ دِينًا
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu ni`mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu. (TQS. al-Mâ’idah [05]: 3

1.    Pengertian Syari’ah
Kata syari’ah yang sering kita dengar adalah peng-Indonesia-an dari kata Arab, yakni As-syarîah al-Islamiyyah. Karena asalnya dari kata Arab maka pengertiannya harus kita pahami sesuai dengan pengertian orang-orang Arab sebagai pemilik bahasa itu. Tentu tidak boleh kita pahami menurut selera orang Indonesia. Karena yang lebih mengetahui pengertian bahasa itu adalah pemilik bahasa itu sendiri. Jadi orang non arab untuk memahami istilah syari’ah itu harus merujuk kepada pengertian orang arab.
Menurut Ibn al-Manzhur yang telah mengumpulkan pengertian dari ungkapan dalam bahasa arab asli dalam bukunya Lisân al’Arab. Secara bahasa syariah itu punya beberapa arti. Diantara artinya adalah masyra’ah al-ma’ (sumber air). Hanya saja sumber air tidak mereka sebut syari’ah kecuali sumber itu airnya sangat berlimpah dan tidak habis-habis (kering).
Kata syari’ah itu asalnya dari kata kerja syara’. kata ini menurut Ar-Razi dalam bukunya Mukhtâr-us Shihah, bisa berarti nahaja (menempuh), awdhaha (menjelaskan) dan bayyan-al masâlik (menunjukkan jalan). Sedangkan ungkapan syara’a lahum-yasyra’u-syar’an artinya adalah sanna (menetapkan). Sedang menurut Al-Jurjani, syari’ah bisa juga artinya mazhab dan tharîqah mustaqîmah jalan yang lurus. Jadi arti kata syari’ah secara bahasa banyak artinya. Ungkapan syari’ah Islamiyyah yang kita bicarakan maksudnya bukanlah semua arti secara bahasa itu.
Suatu istilah, sering dipakai untuk menyebut pengertian tertentu yang berbeda dari arti bahasanya. Lalu arti baru itu biasa dipakai dan mentradisi. Akhirnya setiap kali disebut istilah itu, ia langsung dipahami dengan arti baru yang berbeda dengan arti bahasanya. Contohnya kata shalat, secara bahasa artinya doa. Kemudian syari’at menggunakan istilah shalat untuk menyebut serangkaian aktivitas mulai dari takbiratul ihram dan diakhiri dengan salam, atau shalat yang kita kenal. Maka setiap disebut kata shalat, langsung kita pahami dengan aktivitas shalat, bukan lagi kita pahami sebagai do’a.
Kata syarî’ah juga seperti itu, para ulama akhirnya menggunakan istilah syari’ah dengan arti selain arti bahasanya, lalu mentradisi. Maka setiap disebut kata syari’ah, langsung dipahami dengan artinya secara tradisi itu. Imam Al-Qurthubi menyebut bahwa syari’ah artinya adalah agama yang ditetapkan oleh Allah SWT untuk hamba-hamba-Nya yang terdiri dari berbagai hukum dan ketentuan. Hukum dan ketentuan Allah itu disebut syariat karena memiliki kesamaan dengan sumber air minum yang menjadi sumber kehidupan bagi makhluk hidup. Makanya menurut Ibn-ul Manzhur syari’at itu artinya sama dengan agama.[9]
2.    Pembagian Syari’ah
Syariah meliputi 2 bagian utama:
a.    Ibadah (dalam arti khusus), yang membahas hubungan manusia dengan Allah (vertikal). Tata cara dan syarat-rukunya terinci dalam Al-Qur’an dan Sunah.  Misalnya: shalat, zakat, puasa
b.    Mu'amalah, yang membahas hubungan horisontal (manusia dan lingkungannya) Dalam hal ini aturannya aturannya lebih bersifat garis besar. Misalnya: munakahat, dagang, bernegara, dll.
Syari’ah Islam secara mendalam dan mendetil dibahas dalam ilmu fiqh. Dalam menjalankan syari’ah Islam, ada beberapa yang perlu menjadi pegangan:
a.    Berpegang teguh kepada Al-Qur’an dan Sunah menjauhi bid'ah (perkara yang diada-adakan).
b.    Syari’ah Islam telah memberi aturan yang jelas apa yang halal dan haram, maka :
-     Tinggalkan yang subhat (meragukan)
-     Ikuti yang wajib, jauhi yang haram, terhadap yang didiamkan jangan bertele-tele
c.    Syari’ah Islam diberikan sesuai dengan kemampuan manusia, dan menghendaki kemudahan. Sehingga terhadap kekeliruan yang tidak disengaja dan kelupaan diampuni Allah, amal dilakukan sesuai kemampuan.
d.   Hendaklah mementingkan persatuan dan menjauhi perpecahan dalam syari’ah. Syari’ah harus ditegakkan dengan upaya sungguh-sungguh (jihad) dan amar ma'ruf nahi munkar[10].


[1] Somad Zawawi, Dkk, Pendidikan  Agama  Islam, (Jakarta: Universitas Trisakti, 2004), hal. 50 
[2] Ibid, hal. 52
[3] Toto Suryana, Dkk, Pendidikan Agama Islam, (Bandung: Tiga Mutiara, 1997), hal. 45
[4] Op. Cit. hal. 54
[5] Zakiah Darajat,  dkk,  Pendidikan  Agama Islam, (Jakarta: Dep Dik Bud, 1993). hal. 62
[6] Ibid, hal. 65
[7] Asmaran,  Pengantar Studi Akhlak, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1994), hal. 2-3
[8] Halim, Ali Abdul, Akhlak Mulia, (Jakarta: Gema Insani, 2004), hal. 13
[9] Zakiah Darajat, dkk, Pendidikan Agama Islam,(Jakarta: Dep Dik Bud, 1993), hal. 19
[10] Ibid, hal. 25