PEMBAHASAN
A.
Aqidah
Pendidikan
aqidah merupakan asas kepada pembinaan Islam pada diri seseorang. Ia merupakan
inti kepada amalan Islam seseorang. Seseorang yang tidak memiliki aqidah
menyebabkan amalannya tidak mendapat pengiktirafan oleh Allah SWT. Ayat-ayat
yang terawal yang diturunkan oleh Allah SWT kepada nabi Muhammad SAW di Makkah
menjurus kepada pembinaan aqidah.
Dengan
asas pendidikan dan penghayatan aqidah yang kuat dan jelas maka nabi Muhammad SAW
telah berjaya melahirkan sahabat-sahabat yang mempunyai daya tahan yang kental
dalam mempertahan dan mengembangkan Islam ke seluruh dunia.
Bilal
bin Rabah tidak tergoyah imannya walaupun disiksa dan di tindih dengan batu
besar di tengah padang pasir yang panas terik. Demikian juga keluarga Amar bin
Yasir tetap teguh iman mereka walau berhadapan dengan ancaman maut. Dari sini
kita nampak dengan jelas bahawa pendidikan aqidah amat penting dalam jiwa
setiap insan muslim agar mereka dapat mempertahan iman dan agama Islam
lebih-lebih lagi di zaman globalisasi yang penuh dengan cabaan dalam segenap
penjuru terutamanya internet dan teknologi maklumat yang berkembang dengan
begitu pesat sekali[1].
1.
Pengertian Aqidah
3
|
Perkataan
aqidah berasal dari perkataan bahasa Arab yaitu ‘aqada’ yang berarti
ikatan atau simpulan. Perkataan ini juga digunakan pada sesuatu yang maknawi
seperti akad nikah dan akad jual beli. Dari ikatan atau simpulan yang maknawi
ini maka lahirlah aqidah yaitu ikatan atau simpulan khusus dalam kepercayaan.
Sementara dari segi istilah, aqidah bermaksud kepercayaan yang terikat erat dan
tersimpul kuat dalam jiwa seseorang sehingga tidak mungkin tercerai atau
terurai.
Aqidah
menurut istilah syara’ pula bermaksud kepercayaan atau keimanan kepada
hakikat-hakikat atau nilai-nilai yang mutlak, yang tetap dan kekal, yang pasti
dan hakiki, yang kudus dan suci seperti yang diwajibkan oleh syara" yaitu
beriman Kepada Allah SWT, rukun-rukun Iman, rukun-rukun Islam dan
perkara-perkara ghaibiyyat.
Sedangkan
dasar dari aqidah Islam adalah Al-Qur’an dan sunnah Rasul. Didalam Al-Qur’an
banyak disebut pokok-pokok aqidah, yakni keimanan, maka aqidah disini identik
dengan keimanan. Ayat Al-Qur’an yang memuat kandungan aqidah Islam, antara
lain;
z`tB#uä ãAqߧ9$# !$yJÎ/ tAÌRé& Ïmøs9Î) `ÏB ¾ÏmÎn/§ tbqãZÏB÷sßJø9$#ur 4
<@ä. z`tB#uä «!$$Î/ ¾ÏmÏFs3Í´¯»n=tBur ¾ÏmÎ7çFä.ur ¾Ï&Î#ßâur w ä-ÌhxÿçR ú÷üt/ 7ymr& `ÏiB ¾Ï&Î#ß 4
(#qä9$s%ur $uZ÷èÏJy $oY÷èsÛr&ur (
y7tR#tøÿäî $oY/u øs9Î)ur çÅÁyJø9$# ÇËÑÎÈ
285. Rasul telah beriman kepada Al-Qur’an yang diturunkan
kepadanya dari Tuhannya, demikian pula orang-orang yang beriman. Semuanya
beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitabNya dan rasul-rasul-Nya.(mereka
mengatakan): "Kami tidak membeda-bedakan antara seseorangpun (dengan yang
lain) dari rasul-rasul-Nya", dan mereka mengatakan: "Kami dengar dan
kami taat. "(mereka berdoa): "Ampunilah Kami Ya Tuhan Kami dan kepada
Engkaulah tempat kembali."
Dalam
sebuah hadis riwayat imam Muslim di sebutkan:
”Hendaklah
engkau beriman kepada Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para
rasul-rasul-Nya, hari akhir, dan hendaklah engkau beriman kepada qadar
ketentuan baik dan buruk. ’(Al-Hadits).
Ditinjau
dari sumbernya agama-agama yang dikenal manusia terdiri atas dua jenis agama
yaitu:
a.
Agama
wahyu: yaitu agama yang diterima oleh akal manusia dari Allah melalui malaikat
Jibril dan disebarkan oleh Rasul-Nya kepada manusia. Agama wahyu disebut pula
sebagai agama samawi atau agama langit. Agama Islam termasuk agama wahyu, agama
samawi atau agama langit.
b.
Agama
budaya: yaitu agama yang bersumber dari ajaran seorang manusia yang dipandang
mempunyai pengetahuan mendalam tentang kehidupan. Agama budaya di sebut pula
sebagai agama ardhi atau agama bumi. Contoh agama budaya dalam agama Budha yang
merupakan ajaran Budha Gautama (Aminuddin dkk, 2005)[2].
2.
Tujuan
Aqidah Islam
Tujuan
aqidah Islam bagi setiap muslim adalah:
a.
Memupuk
dan mengembangkan dasar ketuhanan yang ada sejak lahir. Hal ini karena manusia
adalah makhluk yang berketuhanan sejak ia dilahirkan.
b.
Untuk
mencegah manusia dari kemusyrikan perlu adanya tuntutan yang jelas tentang
kepercayaan terhadap Tuhan YME.
c.
Menghindarkan
diri dari pengaruh akal yang menyesatkan manusia. Manusia diberi kelebihan oleh
Allah berupa akal pikiran. Pendapat atau faham ini semata-mata didasarkan akal
manusia, kadang-kadang menyesatkan manusia itu sendiri.
d.
Oleh
karena itu, pikiran manusia perlu dibimbing oleh aqidah Islam, agar terhindar
dari kehidupan yang sesat[3].
Dalam
menjelaskan definisi aqidah ada disebut perkataan, kepercayaan atau keimanan.
Hal Ini disebabkan Iman merupakan unsur utama kepada aqidah. Dari segi bahasa
Iman berasal dari kata “amana-yu’ minu-imanan” yang berarti percaya.
Menurut istilah, iman berarti membenarkan dengan hati, mengucapkan dengan lisan
dan melakukan dengan anggota badan (beramal).
Iman
ialah perkataan orang Arab yang berarti percaya. Yang merangkumi ikrar
(pengakuan) dengan lidah, membenarkan dengan hati dan mempraktikkan dengan
perbuatan. Ini adalah berdasarkan sebuah hadis yang bermaksud: “Iman itu iyalah
mengaku dengan lidah, membenarkan ia dengan hati dan beramal dengan anggota
badan”.
Walaupun
iman itu merupakan peranan hati yang tidak diketahui oleh orang lain selain
dari dirinya sendiri dan Allah SWT namun dapat diketahui oleh orang melalui
bukti-bukti amalanya. Iman tidak pernah berkompromi atau bersekongkol dengan
kejahatan dan maksiat. Sebaliknya iman yang mantap di dada merupakan pendorong
ke arah kerja-kerja yang sesuai dengan kehendak dan tuntutan iman itu sendiri.
4.
Tingkatan-tingkatan
Keimanan
Iman
itu boleh bertambah dan berkurang malahan iman seseorang boleh dihinggapi
penyakit. Ada iman senantiasa bertambah yaitu Iman kepara Nabi dan Rasul. Ada
Iman yang tidak bertambah atau berkurang yaitu Iman para Malaikat. Ada Iman yang kadang-kadang bertambah dan ada
ketikanya menurun yaitu Iman kebanyakan orang mukmin. Terdapat juga jenis Iman
yang jarang-jarang bertambah tetapi banyak menurun yaitu Iman orang-orang yang
fasik lagi jahat.
Iman
terbahagi kepada lima peringkat:
a.
Iman
Taqlid, yaitu ikutan. Orang yang beriman
secara taqlid beramal semata-mata mengikut orang lain. Iman jenis ini sangat
berbahaya.
b.
Iman
Ilmu, yaitu Iman yang berdasarkan semata-mata kepada ilmu dan fikiran semata-mata dan ia tidak terpahat di dalam
hati. Iman pada tahap ini juga terdedah kepada bahaya dan penyelewengan.
c.
Iman
Ayan, yaitu Iman yang dapat dihayati
sehingga ke lubuk hati. Iman pada tahap ini dimiliki oleh orang-orang soleh.
Seseorang yang beriman pada tahap ini amalannya bertolak dari hati yang ikhlas
untuk mencari keredhaan Allah SWT. Iman kita juga sekurang-kurangnya berada
pada tahap ini.
d.
Iman
Hak, yaitu Iman yang hakiki yang terlepas dari godaan nafsu dan
syaitan. Iman pada tahap ini dimiliki oleh golongan muqarrabin.
e.
Iman
Hakikat, yaitu Iman peringkat yang paling
tinggi yang boleh dicapai oleh manusia. Mereka yang memiliki Iman pada tahap
ini hidup semata-mata untuk Allah SWT.[4]
5.
Rukun
Iman
Perkara
yang menjadi asas atau pokok keimanan dalam Islam dikenali sebagai rukun-rukun
Iman ialah enam perkara sebagaimana firman Allah SWT:
$pkr'¯»t tûïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä (#qãYÏB#uä «!$$Î/ ¾Ï&Î!qßuur É=»tFÅ3ø9$#ur Ï%©!$# tA¨tR 4n?tã ¾Ï&Î!qßu É=»tFÅ6ø9$#ur üÏ%©!$# tAtRr& `ÏB ã@ö6s% 4
`tBur öàÿõ3t «!$$Î/ ¾ÏmÏFs3Í´¯»n=tBur ¾ÏmÎ7çFä.ur ¾Ï&Î#ßâur ÏQöquø9$#ur ÌÅzFy$# ôs)sù ¨@|Ê Kx»n=|Ê #´Ïèt/ ÇÊÌÏÈ
136
Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan
kepada kitab yang Allah turunkan kepada Rasul-Nya serta kitab yang Allah
turunkan sebelumnya. Barang siapa yang kafir kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya,
kitab-kitab-Nya ,rasul-rasul-Nya, dan hari Kemudian, Maka Sesungguhnya orang
itu telah sesat sejauh-jauhnya.
a.
Beriman
kepada Allah SWT
Iman
kepada Allah artinya meyakini adanya Allah dengan sepenuh hati tanpa adanya
keraguan sedikitpun, karena Dia-lah yang kita sembah, yang Esa, lagi Pencipta,
yang pertama lagi permulaan, yang akhir tanpa penghabisan, pemilik keagungan
dan kesempurnaan. Dia-lah Allah yang Esa sebagaiman firmannya:
ö@è% uqèd ª!$# îymr& ÇÊÈ ª!$# ßyJ¢Á9$# ÇËÈ öNs9 ô$Î#t öNs9ur ôs9qã ÇÌÈ öNs9ur `ä3t ¼ã&©! #·qàÿà2 7ymr& ÇÍÈ
1.
Katakanlah:
"Dia-lah Allah, yang Maha Esa. 2. Allah adalah Tuhan yang bergantung
kepada-Nya segala sesuatu. 3. Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan,4.
Dan tidak ada seorangpun yang setara dengan dia."
Beriman
kepada Allah SWT bermaksud mengetahui, percaya dan beri’tiqad dengan teguh,
perkara-perkara yang wajib, mustahil dan harus bagi Allah SWT. Seseorang itu
hendaklah beri’tiqad secara ijmal dan sungguh-gungguh bahawa Allah SWT bersifat
dengan sifat-sifat yang sempurna dan sesuai dengan ketuhanan-Nya. Mustahil
Allah SWT bersifat dengan sifat-sifat kekurangan dan harus bagi Allah SWT
melakukan semua perkara atau meninggalkannya.
Fungsi
iman kepada Allah antara lain:
1)
Menyadarkan
manusia agar selalu ingat kepada Allah.
2)
Menambah
ketaqwaan kepada Allah, serta tawakal kepadanya, ikhlas untuk melaksanakan
semua perintahnya dan menjauhi larangannya.
3)
Percaya
kepada yang ghaib dan adanya wahyu darinya, sehingga terdorong untuk
mempelajari dan mengamalkannya.
4)
Dengan
tulus ihklas berusaha menafkahkan rizki yang telah diberikannya sebagian bukti
anugerah darinya.
b.
Beriman
kepada Malaikat
Beriman
kepada malaikat bermaksud percaya dan yakin tentang wujudnya makhluk yang
digelar malaikat. Jumlah malaikat hanya Allah SWT sahaja yang mengetahui. Di
antara ciri-ciri malaikat yang disebut di dalam Al-Qur’an dan Al-Hadis
antaranya ialah:
1)
Malaikat
merupakan makhluk yang taat kepada Allah SWT.
2)
Diciptakan
dari nur.
3)
Tidak
mempunyai hawa nafsu.
4)
Tidak
makan dan minum
5)
Memiliki
akal yang terbatas untuk melaksanakan perintah Allah SWT.
6)
Malaikat
mempunyai sayap.
7)
Memiliki
kekuatan dan kepantasan yang luar biasa.
Malaikat
merupakan mahluk yang tidak dapat dikesani dengan penyelidikan dan pemikiran tentang
kewujudannya. Kita tidak boleh menafikan adanya malaikat semata-mata kerana ia tidak
dapat dilihat atau dikaji oleh akal manusia. Beriman kepada malaikan adalah termasuk
didalam beriman kepada perkara-perkara ghaib keran tidak dapat disaksikan oleh panca
indera. Hakikatnya amat sukar difahami oleh akal fikiran manusia. Perkara habaran
tentang malaikat dan perkara perkara ghaib ini diketahui melalui Al-Quran dan
Al-Hadist. Yakin dan beriman kepada perkara perkara, Neraka, roh merupakan salah
satu dari pada cirri-ciri orang bertaqwa kepada Allah SWT. Diantara dalil berkenaan
dengan malaikat adalah seperti berikut:
Firman
Allah SWT yang bermaksud:
…. $tBur ÞOn=÷èt yqãZã_ y7În/u wÎ) uqèd 4
….
"Dan
tidaklah ada yang mengetahui siapa tentara Tuhan itu melainkan Dia".(Al-Mudasir:
31)
c.
Beriman
Kepada Kitab-kitab-Nya
Iman
kepada kitab-kitab Allah artinya mempercayai dan meyakini bahwa Allah telah
menurunkan kitab-kitab-Nya kepada para Rasul yang berisi wahyu Allah agar isi
dan kandungannya disampaikan kepada umat manusia. Dasarnya adalah firman Allah SWT:
$pkr'¯»t tûïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä (#qãYÏB#uä «!$$Î/ ¾Ï&Î!qßuur É=»tFÅ3ø9$#ur Ï%©!$# tA¨tR 4n?tã ¾Ï&Î!qßu É=»tFÅ6ø9$#ur üÏ%©!$# tAtRr& `ÏB ã@ö6s% 4
`tBur öàÿõ3t «!$$Î/ ¾ÏmÏFs3Í´¯»n=tBur ¾ÏmÎ7çFä.ur ¾Ï&Î#ßâur ÏQöquø9$#ur ÌÅzFy$# ôs)sù ¨@|Ê Kx»n=|Ê #´Ïèt/ ÇÊÌÏÈ
136.
Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan
kepada kitab yang Allah turunkan kepada Rasul-Nya serta kitab yang Allah
turunkan sebelumnya. Barang siapa yang kafir kepada Allah,
malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan hari Kemudian,
Maka Sesungguhnya orang itu telah sesat sejauh-jauhnya.(Q.S.
Ann-Nisa’:136)
Kitab-kitab
Allah yang diturunkan kepada Rasul itu ialah: Taurat kepada nabi Musa, Zabur
kepada nabi Daud, Injil kepada nabi Isa, dan Al-Quran kepada nabi Muhammada
SAW. Sedangkan shuhuf diturunkan kepada nabi Adam, nabi Syits, nabi Ibrahim,
dan nabi Musa.
d.
Iman
Kepada Para Rasul
Beriman
kepada Rasul Allah artinya mempercayai dan meyakini dengan sepenuh hati bahwa
Allah telah mengangkat dan memilih serta mengurus beberapa utusan pilihan
sebagai rasul mereka diberikan wahyu agar disampaikan kepada umatnya. Adapun
jumlah utusan Allah (nabi dan rasul)
hanya Allah yang maha mengetahui. Yang wajib diketahui oleh kita
sebagaimana dijelaskan dalam Al-Qur’an adalah sebanyak 25 orang. Para rasul ini
selain diutus untuk menyampaikan risalahnya, ai juga diberikan mukjizat dan ada
yang bergelar sebagian Nabi diberi gelar Ulul azmi.
e.
Iman
Kepada Hari Akhir
Iman
kepada hari akhir adalah mempercayai dengan sepenuh hati terhadap perubahan
dahsyat yang terjadi pada alam semesta ini. Perubahan itu merupakan tanda
berakhirnya kehidupan dunia yang fana ini dan dimulainya denagan kehidupan
diakhirat yang kekal.
Kehancuran
total yang meliputi sekalian alam ini bukanlah suatu hal yang mustahil.
Kedahsyatan datangnya hari kiamat mampu menghancurkan segala yang ada di
permukaan bumi ini. Pada hari itu adalah hari penghabisan dunia dan sebagai
awal kehidupan diakhirat.
f.
Iman
Kepada Qadha dan Qadar Allah
Iman
Kepada Qadha dan Qadar Allah artinya mempercayai dan meyakini dengan sepenuh
hati bahwa semua yang terjadi pada diri manusia dan segala yang adadi dunia ini
sudah ditentukan oleh Allah, dan Allah lah yang menetapkan dan memutuskan baik
buruknya, menyenangkan, dan tidak menyenangkan atas kehendakya[5].
6.
Hal-hal
yang harus diimani
Selain
rukun iman, sebagaimana yang telah disebutkan diatas, masih ada beberapa hal
yang wajib diimani:
a.
Ruhaniat
(spiritual), yaitu segala
yang berhubungan dengan makhluk ghaib, seperti adanya ruh pada jasad manusia,
adanya jin dan setan.
b.
Ketuhanan, yaitu yang berhubungan dengan nama, sifat, kodrat atau sifat
kekuasaan Allah.
c.
Kenabian
atau kerasulan, yang
menyangkut dengan sifat-sifat dan kesucian para Nabi, yaitu tentang orang-orang
yang memiliki ketaqwaan yang sangat mendalam diluar kebiasaan manusia pada
umumnya.
d.
Samiyat, yaitu hal-hal yang berhubungan dengan alam ghaib, seperti alam
barzah, padang masyar, siksa kubur, nikmat kubur, hidup setelah mati[6].
B.
Akhlak
Akhlak
adalah sifat-sifat dan perangai yang diumpamakan pada manusia sebagai gambaran
batin yang bersifat maknawi dan rohani. Dimana dengan gambaran itulah manusia
dibangkitkan disaat hakikat segala sesuatu tampak dihari kiamat nanti. Perilaku
dan tabiat manusia baik yang terpuji maupun yang tercela disebut dengan akhlak.
Akhlak merupakan etika perilaku manusia terhadap manusia lain perilaku manusia
dengan Allah SWT maupun perilaku manusia terhadap lingkungan hidup. Segala
macam perilaku atau perbuatan baik yang tampak dalam kehidupan sehari-hari
disebut akhlakul kharimah atau akhlakul mahmudah. Acuannya adalah Al-Qur’an dan
Hadist serta berlaku universal.
1.
Pengertian
Akhlak
Secara
Etimologi, ahklak adalah perkataan ‘akhlak’ berasal dari bahasa Arab
yang jama’nya dari bentuk mufrad ‘Khuluqun’ yang menurut logat diartikan
budi pekerti, perangai, tingkah laku atau tabiat.
Kalimat tersebut mengandung segi-segi persesuain
dengan perkataan khalkun yang berarti kejadian, serta erat hubunganya ‘Khaliq’
yang berarti Pencipta dan “Makhluk” yang berarti yang diciptakan.
Pengertian
akhlak adalah kebiasaan kehendak itu bila membiasakan sesuatu maka kebiasaannya
itu disebut akhlak. Jadi pemahaman akhlak adalah seseorang yang mengerti benar
akan kebiasaan perilaku yang diamalkannya dalam pergaulan semata-mata taat
kepada Allah dan tunduk kepada-Nya. Oleh karena itu seseorang yang sudah
memahami akhlak maka dalam bertingkah laku akan timbul dari hasil perpaduan
antara hati nurani, pikiran, perasaan, bawaan dan kebiasaan yang menyatu,
membentuk suatu kesatuan tindakan akhlak yang dihayati dalam kenyataan hidup
sehari-hari. Semua yang telah dilakukan itu akan melahirkan perasaan moral yang
terdapat di dalam diri manusia itu sendiri sebagai fitrah, sehingga ia mampu
membedakan mana yang baik dan mana yang jahat, mana yang bermanfaat dan mana
yang tidak berguna, mana yang cantik dan mana yang buruk[7].
Dengan
demikian memahami akhlak adalah masalah fundamental dalam Islam. Namun
sebaliknya tegaknya aktifitas keislaman dalam hidup dan kehidupan seseorang
itulah yang dapat menerangkan bahwa orang itu memiliki akhlak. Jika seseorang
sudah memahami akhlak dan menghasilkan kebiasaan hidup dengan baik, yakni
pembuatan itu selalu diulang-ulang dengan kecenderungan hati atau disebut
sadar.
2.
Macam-macam
akhlak terpuji
Akhlakul
karimah (sifat-sifat terpuji) ini banyak macamnya, diantaranya adalah
husnuzzan, gigih, berinisiatif, rela berkorban, tata karama terhadap makhluk
Allah, adil, ridho, amal shaleh, sabar, tawakal, qona’ah, bijaksana, percaya
diri, dan masih banyak lagi. Husnuzzan adalah berprasangka baik atau
disebut juga positive thinking. Lawan dari kata ini adalah su’uzzan yang
artinya berprasangka buruk atau negative thinking. Gigih atau kerja keras serta
optimis termasuk diantara akhlak mulia yakni percaya akan hasil positif dalam
segala usaha.
Berinisiatif
adalah perilaku yang terpuji karena sifat tersebut berarti mampu berprakarsa
melakukan kegiatan yang positif serta menhindarkan sikap terburu-buru bertindak
kedalam situasi sulit, bertindak dengan kesadaran sendiri tanpa menunggu
perintah, dan selalu menggunakan nalar ketika bertindak di dalam berbagai
situasi guna kepentingan masyarakat.
Rela
berkorban artinya rela mengorbankan apa yang kita miliki demi sesuatu atau demi
seseorang. Semua ini apabila dengan maksud atau dilandasi niat dan tujuan yang
baik. Tata karama terhadap sesama makhluk Allah SWT ini sangat dianjurkan
kepada makhluk Allah karena ini adalah salah satu anjuran Allah kepada kaumnya.
Adil dalam bahasa arab dikelompokkan menjadi dua yaitu: kata al-adl dan al-idl. Al-adl
adalah keadilan yang ukurannya didasarkan kalbu atau rasio, sedangkan al‘idl
adalah keadilan yang dapat diukur secara fisik dan dapat dirasakan oleh panca
indera seperti hitungan atau timbangan. Ridho adalah suka, rela, dan senang.
Konsep ridho kepada Allah mengajarkan manusia untuk menerima secara suka rela
terhadap sesuatu yang terjadi pada diri kita. Amal Shaleh adalah perbuatan
lahir maupun batin yang berakibat pada hal positif atau bermanfaat. Sabar
adalah tahan terdapat setiap penderitaan atau yang tidak disenangi dengan sikap
ridho dan menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allah SWT. Tawakal adalah berserah
diri sepenuhnya kepada Allah dalam menghadapi atau menunggu hasil dari suatu
pekerjaan.
Qona’ah adalah selalu merasa
cukup dengan apa yang dimiliki dan menjauhkan diri dari sifat ketidakpuasan
atau kekurangan. Bijaksana adalah suatu sikap dan perbuatan seseorang yang dilakukan
dengan cara hati-hati dan penuh kearifan terhadap suatu permasalahan yang
terjadi baik itu terjadi pada dirinya sendiri ataupun pada orang lain. Percaya
diri adalah keadaan yang memastikan akan kemampuan seseorang dalam melakukan
suatu pekerjaan karena ia merasa memiliki kelebihan baik itu kelebihan postur tubuh,
keturunan, status sosial, pekerjaan ataupun pendidikan.
a.
Akhlak
kepada Pencipta
Salah
satu perilaku atau tindakan yang mendasari akhlak kepada Pencipta adalah
Taubat. Taubat secara bahasa berarti kembali pada kebenaran. Secara istilah
adalah meninggalkan sifat dan kelakuan yang tidak baik, salah atau dosa dengan
penuh penyesalan dan berniat serta berusaha untuk tidak mengulangi kesalahan
yang serupa. Dengan kata lain, taubat mengandung arti kembali kepada sikap, perbuatan
atau pendirian yang baik dan benar serta menyesali perbuatan dosa yang sudah
terlanjur dikerjakan. Menurut Ibnu Katsir taubat adalah menjauhkan diri dari
perbuatan dosa dan menyesali atas dosa yang pernah dilakukan pada masa lalu
serta yakin tidak akan melakukan kesalahan yang sama pada masa mendatang.
Menurut Al-.Jurjani tobat adalah kembali pada
Allah dengan melepaskan segala keterikatan hati dari perbuatan dosa dan
melaksanakan segala kewajiban kepada Tuhan. Menurut Hamka tobat adalah kembali kejalan yang benar setelah
menempuh jalan yang sangat sesat dan
tidak tentu ujungnya.
b.
Akhlak
terhadap Sesama
Setelah
mencermati kondisi realitas sosial tentunya tidak terlepas berbicara masalah
kehidupan. Masalah dan tujuan hidup adalah mempertahankan hidup untuk
kehidupan selanjutnya dan jalan
mempertahankan hidup hanya dengan mengatasi masalah hidup. Kehidupan sendiri
tidak pernah membatasi hak ataupun kemerdekaan
seseorang untuk bebas berekspresi, berkarya.
Kehidupan
adalah saling berketergantungan antara sesama makhluk dan dalam kehidupan pula
kita tidak terlepas dari aturan-aturan hidup baik bersumber dari norma kesepakatan
ataupun norma-norma agama, karena dengan norma agama hidup kita akan jauh lebih
memahami apa itu akhlak. Dalam hal ini adalah akhlak antara sesama manusia dan
makhluk lainnya.
c.
Akhlak
kepada sesama muslim
Sebagai
umat pengikut Rasullulah tentunya jejak langkah beliau merupakan guru besar
umat Islam yang harus diketahui dan patut ditiru, karena kata Rasululah yang dinukilkan
dalam sebuah hadist yang artinya “sesungguhnya aku di utus untuk menyempurnakan
akhlak yang mulia”.
Yang
dimaksud akhlak yang mulia adalah akhlak
yang terbentuk dari hati manusia
yang mempunyai nilai ibadah setelah menerima rangsangan dari keadaan social.
Karena kondisi realitas sosial yang membentuk hadirnya karakter seseorang untuk
menggapai sebuah keadaan[8].
C.
Syari’ah
Pengertian
syari’ah Islam bisa kita peroleh dengan menggabungkan pengertian syari’at
dan Islam. Untuk kata Islam, secara bahasa artinya inqiyâd (tunduk) dan
istilah Islam (berserah diri kepada Allah). Hanya saja Al-Qur’an menggunakan
kata Islam untuk menyebut agama yang diturunkan oleh Allah kepada nabi Muhammad
Saw. Firman Allah menyatakan:
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ
نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ اْلإِسْلاَمَ دِينًا
“Pada
hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu
ni`mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu.
(TQS. al-Mâ’idah [05]: 3
1.
Pengertian
Syari’ah
Kata
syari’ah yang sering kita dengar adalah peng-Indonesia-an dari kata Arab, yakni
As-syarîah al-Islamiyyah. Karena asalnya dari kata Arab maka
pengertiannya harus kita pahami sesuai dengan pengertian orang-orang Arab
sebagai pemilik bahasa itu. Tentu tidak boleh kita pahami menurut selera orang
Indonesia. Karena yang lebih mengetahui pengertian bahasa itu adalah pemilik
bahasa itu sendiri. Jadi orang non arab untuk memahami istilah syari’ah
itu harus merujuk kepada pengertian orang arab.
Menurut
Ibn al-Manzhur yang telah mengumpulkan pengertian dari ungkapan dalam bahasa
arab asli dalam bukunya Lisân al’Arab. Secara bahasa syariah itu punya
beberapa arti. Diantara artinya adalah masyra’ah al-ma’ (sumber air).
Hanya saja sumber air tidak mereka sebut syari’ah kecuali sumber itu
airnya sangat berlimpah dan tidak habis-habis (kering).
Kata
syari’ah itu asalnya dari kata kerja syara’. kata ini menurut Ar-Razi
dalam bukunya Mukhtâr-us Shihah, bisa berarti nahaja (menempuh), awdhaha
(menjelaskan) dan bayyan-al masâlik (menunjukkan jalan). Sedangkan
ungkapan syara’a lahum-yasyra’u-syar’an
artinya adalah sanna (menetapkan). Sedang menurut Al-Jurjani, syari’ah
bisa juga artinya mazhab dan tharîqah mustaqîmah jalan yang
lurus. Jadi arti kata syari’ah secara bahasa banyak artinya. Ungkapan syari’ah
Islamiyyah yang kita bicarakan maksudnya bukanlah semua arti secara bahasa
itu.
Suatu
istilah, sering dipakai untuk menyebut pengertian tertentu yang berbeda dari
arti bahasanya. Lalu arti baru itu biasa dipakai dan mentradisi. Akhirnya
setiap kali disebut istilah itu, ia langsung dipahami dengan arti baru yang
berbeda dengan arti bahasanya. Contohnya kata shalat, secara bahasa artinya
doa. Kemudian syari’at menggunakan istilah shalat untuk menyebut serangkaian
aktivitas mulai dari takbiratul ihram dan diakhiri dengan salam, atau
shalat yang kita kenal. Maka setiap disebut kata shalat, langsung kita pahami
dengan aktivitas shalat, bukan lagi kita pahami sebagai do’a.
Kata
syarî’ah juga seperti itu, para ulama akhirnya menggunakan istilah syari’ah
dengan arti selain arti bahasanya, lalu mentradisi. Maka setiap disebut kata syari’ah,
langsung dipahami dengan artinya secara tradisi itu. Imam Al-Qurthubi menyebut
bahwa syari’ah artinya adalah agama yang ditetapkan oleh Allah SWT untuk
hamba-hamba-Nya yang terdiri dari berbagai hukum dan ketentuan. Hukum dan
ketentuan Allah itu disebut syariat karena memiliki kesamaan dengan sumber air
minum yang menjadi sumber kehidupan bagi makhluk hidup. Makanya menurut Ibn-ul
Manzhur syari’at itu artinya sama dengan agama.[9]
2.
Pembagian
Syari’ah
Syariah
meliputi 2 bagian utama:
a.
Ibadah (dalam arti khusus), yang membahas hubungan manusia dengan Allah (vertikal).
Tata cara dan syarat-rukunya terinci dalam Al-Qur’an dan Sunah. Misalnya: shalat, zakat, puasa
b.
Mu'amalah, yang membahas hubungan horisontal (manusia dan lingkungannya) Dalam
hal ini aturannya aturannya lebih bersifat garis besar. Misalnya: munakahat,
dagang, bernegara, dll.
Syari’ah Islam secara
mendalam dan mendetil dibahas dalam ilmu fiqh. Dalam menjalankan syari’ah
Islam, ada beberapa yang perlu menjadi pegangan:
a.
Berpegang
teguh kepada Al-Qur’an dan Sunah menjauhi bid'ah (perkara yang diada-adakan).
b.
Syari’ah Islam telah memberi aturan yang jelas apa yang halal dan haram,
maka :
- Tinggalkan yang subhat (meragukan)
- Ikuti yang wajib, jauhi yang haram, terhadap yang didiamkan jangan
bertele-tele
c.
Syari’ah Islam diberikan sesuai dengan kemampuan manusia, dan menghendaki
kemudahan. Sehingga terhadap kekeliruan yang tidak disengaja dan kelupaan
diampuni Allah, amal dilakukan sesuai kemampuan.
d.
Hendaklah
mementingkan persatuan dan menjauhi perpecahan dalam syari’ah. Syari’ah
harus ditegakkan dengan upaya sungguh-sungguh (jihad) dan amar ma'ruf nahi
munkar[10].
[1] Somad Zawawi,
Dkk, Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: Universitas Trisakti,
2004), hal. 50
[2] Ibid,
hal. 52
[3] Toto Suryana,
Dkk, Pendidikan Agama Islam, (Bandung: Tiga Mutiara, 1997), hal. 45
[4] Op. Cit.
hal. 54
[5] Zakiah
Darajat, dkk, Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: Dep Dik Bud, 1993).
hal. 62
[6] Ibid,
hal. 65
[7] Asmaran, Pengantar Studi Akhlak, (Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada, 1994), hal. 2-3
[8] Halim, Ali
Abdul, Akhlak Mulia, (Jakarta: Gema Insani, 2004), hal. 13
[9] Zakiah
Darajat, dkk, Pendidikan Agama Islam,(Jakarta: Dep Dik Bud, 1993), hal. 19
[10] Ibid,
hal. 25